" sayang..sayang.."
Suara ini lagi, ah sudahlah..aku bosan membuka mata dan berharap kamu nyata. Berpuluh kali kamu membangunkanku, menggangguku di setiap mimpi-mimpi, tidak bisakah kamu menyingkir sejenak? Aku lelah terus berharap kamu bisa kusentuh, berharap aku tidak terlalu gila untuk mengisi sel-sel rumah sakit jiwa di seberang jalan sana.
Ah,
apa mungkin itu penyebab semua ini?
Ya..ya..seharusnya dunia kedokteran tahu bahwa penyakit kejiwaan bisa menular, bahkan lewat media angin. Jarak rumahku dan rumah sakit jiwa itu hanya 25 meter. Seharusnya rumah sakit jiwa dilokasikan jauh dari pemukiman penduduk agar yaaa..hal semacam ini tidak terjadi.
Biar kuceritakan awal aku mendengar suara itu.
Dua tahun yang lalu, tepatnya dua tahun, sepuluh bulan, dan dua belas hari, persis pukul tiga pagi, aku terbangun saat suara terdengar dikepalaku. "sayang..sayang" , lembut khas seorang pencinta kepada kekasihnya. Dan seterusnya, hampir setiap malam aku mendengar dua kata tersebut. Ya, hanya dua kata. Tidak kurang. Tidak lebih.
Apakah aku terganggu?
Tentu saja, nyaris setiap malam aku terbangun dan kecewa. Tapi diam-diam aku merindukan suara itu, diam-diam aku menantikannya. Mau anggap aku gila? Silahkan, kamu punya banyak teman.
Ingga misalnya,
" Kamu harus berhenti bikin imajinasi semacam itu"
" Aku ga berimajinasi ngga.."
" Itu semua kamu sendiri yang buat. Atau, kamu lebih senang kalau kukatakan suara itu dari dunia lain?"
" Ingga, aku kira mahasiswi kedokteran tidak akan percaya mistis "
" Justru karena aku mahasiswi kedokteran makanya aku tahu ada yang salah dengan otakmu !"
" Maksudmu aku gila ?"
" Ya ! kamu menuju kesana !"
Ingga membereskan buku-buku tebalnya lalu bergegas pergi. Apa ia mulai takut padaku?
Tapi tak lama, reaksiku menurun pada suara itu. Awal aku mendengar aku sampai harus membuka semua pintu, semua lemari, semua laci, bahkan kolong kasur-pun aku periksa. Ya, siapa tahu dia bermain petak umpat denganku. Tapi sekarang?
Aku membuka mata, mencoba memutar ulang suara itu sambil memeluk Jane, boneka beruangku. Terus berulang-ulang sampai aku kembali terlelap.
"sayang..sayang.."
Aku membuka mataku dengan terkejut. Suara itu lagi !
Aku hanya memelototi tembok sambil memeluk bonekaku dengan tegang.
Perlahan aku berbalik.
Silau.
Rasanya silau sekali.
Matahari tidak pernah sesilau ini sebelumnya, jika memang ini matahari.
Bertahun aku mempertanyakan kewarasanku, sekarang aku pun turut mempertanyakan kesehatan mataku.
Nyatakah ini?
Nyatakan dia?
Iya, dia ada.
Dia berwujud.
Lama ku tatap wajahnya. Perlahan ku coba menggapainya. Belum-belum aku takut dan memeluk kembali bonekaku, kemudian berbalik menatap dinding. Dinding lebih mudah ku hadapi dari pada dia yang berwujud.
Perlahan kurasakan hembusan nafas di tengkukku.
Lihat Ingga, dia benafas ! Sudah pasti dia bukan dari dunia lain.
Tak lama, kurasa ada tangan yang memelukku, erat.
Lama sekali rasanya, aku hanya terdiam dan merasa-merasa.
" Sayang..aku pulang. Maaf membuatmu menungggu terlalu lama. Ini tidak akan terjadi lagi. Aku janji."
Aku hanya bisa terdiam.
" Aku berhasil mendapat promosi. Sekarang kantorku di Jakarta, satu jam dari rumahmu, 10 menit dari rumah kita."
" Rumah kita?" Aku refleks berbalik. Dan cincin itu ada di depan mataku.
" Ya, rumah kita. Aku siap sarapan nasi goreng kurang asinmu setiap pagi, aku siap memijati kakimu kapan saja kamu mau, aku siap memelukmu saat malam kamu kedinginan, aku siap memegangi tisue saat kamu menangis menonton drama kesukaanmu, aku siap menemanimu ke pasar loak mencari buku-buku lama yang kamu mau, aku akan belajar mengikat rambut agar bisa siap mengingat rambutmu jika kamu butuhkan, aku siap menyediakan banyak buah agar kamu sehat, aku bahkan siap kebisingan saat keluargamu berkumpul, aku siap menemani adikmu bermain layangan, aku siap mengantar-jemut ibumu. Aku siap mendampingimu. Aku siap menikahimu, aku siap. Apa kamu siap?"
" Sehari lagi saja, mungkin aku sudah menikah dengan Damar. Iya, teman kantormu dulu yang terus mengejarku saat kamu pergi. Kamu tahu itu?"
" Aku tahu. Kamu akan mengancam sebelum berkata iya. Aku tahu itu Nara.."
" Siapa yang akan berkata iya? Kamu terlalu percaya diri nampaknya "
Perlahan dia memelukku, menyembunyikanku di dadanya. Mengelus rambutku, mencium ubun-ubun kepalaku.
" Katakan saja iya, itu yang perlu ku dengar. Aku terlalu mencintaimu "
" Aku mencintaimu "
" Boleh kuanggap itu iya?"
Aku mengangguk.
Dan pelukan itu terasa semakin hangat.
hyaaaaa...
i finally made it. i publish my story !
be kind to me please :)