23 february 2011
Persis setelah aku berpakaian dan menyiapkan apa-apa yang harus dibawa untuk belajar kelompok, ibuku menelpon. Menanyakan ujian hari ini, kapan pulang dan rencanaku untuk magang. Ku jawab singkat khas orang terburu-buru. Ku bilang “Bu, cha ditunggu temen, mau belajar bareng..”, beliau maklum dan menutup telepon setelah mendoakan ujianku besok. Sambil berjalan, rasa bersalah atas percakapan tadi mendominasi ‘ah, nanti ku sms..’, begitu pikirku.
Sekitar pukul 9 malam, saat aku masih berdiskusi peraturan mana yang harus digunakan untuk menyelesaikan soal-soal PPN, masuk pesan singkat dari adikku “ teh, ibu sakit. Batu ginjal lagi..”
Shock.
Itu yang aku rasakan.
Ku tanya beliau ada diman, seperti apa kondisinya, sang adik malah menyuruhku bertanya langsung pada ibuku.
Ku coba menghubungi beliau, tak ada jawaba. ‘ah, ibu pasti menaruh hp di tasnya. Pasti lagi-lagi lupa dikeluarkan saat menaruh tas di lemari ’. Lalu aku beralih pada ayahku, tak ada jawaban juga. Ayahku tidak pernah terlepas dari hp nya, kecuali tidur. Dan ini bukan jam beliau tidur, masih terlalu pagi. Pikiran jelekku berkembang. Cerita-cerita anak yang sedang ujian tidak diberi tahu kejadian buruk keluarga segera menghantui.
Tak lama sukur ayahku bias dihubungi, rupanya mereka baru saja keluar dari ruangan dokter. Ayahku bertanya siapa yang member tahu, sedikit tertawa beliau berkata ibu baik-baik saja. Sedikit lega aku kembali pada teman-temanku, mencoba berkonsentrasi berlatih soal kembali. Lalu ibuku menelpon.
“ibu gak apa-apa?”
“ngga ko ga apa-apa” beliau tertawa.
“kata lala ibu batu ginjal lagi?”
“ah itu baru diduga. Cuma dari kemarin ibu ga lancer pipisnya”
“terus mau diangkat lagi?” ya ini kali kedua beliau bermasalah dengan penyakit ini. Masih segar rasanya bagaimana kami sekeluarga bolak-balik sukabumi bandung untuk mengobati ibu.
“ngga, dikasih obat dulu. Ah ibu ga apa-apa ko. Ini si mpah (panggilan untuk ayahku) nyuruh-nyuruh ibu telpon kamu. Dia pikir kamu khawatir sama ibu..”
“ngga bu..” aku tahu beliau mencoba untuk bercanda. Tapi suaraku sudah aneh, antara ingin menjawab dan menahan tangis. Lantaran jawabanku yang menggantung, ibu akhirnya memutuskan menutup pembicaraan.
Lama aku menatap layar hp.
Sungguh aku menyesal tidak membiarkan ibu mendengarku menangis dan memberitahunya dengan jelas bagaimana aku mengkhawatirkannya. Aku menyesal tadi sore membiarkan ibu menutup telpon tanpa sempat meminta maaf padanya. Sungguh aku menyesal tidak sejak lama mengatakan padanya betapa aku mencintainya.
Sedari SD, persis ku ingat kala itu kelas 6 semester 2, aku sudah hidup terpisah dari orangtuaku. Pekerjaan ayahku mengharuskan kami sekeluarga pindah rumah dan aku, si anak kelas 6 SD semester 2 terpaksa harus tinggal untuk menyelesaikan pendidikanku karena tidak aka nada SD yang mau menerima murid baru menjelas uas.
Dan ketika aku lulus SD dan masuk SMP, aku tidak mau lagi menjadi bagian dari ‘siklus-pindah-rumah’. Aku pun lagi-lagi memutuskan untuk tinggal sendiri. Mencoba menikmati masa SMP tanpa sesi perkenalan diri di tengah semester. Agak lama ibu sempat tinggal bersamaku. Saat itu rumah menjadi sangat bersih dan aku resmi menjadi pengasuh adikku. Saat menjelang kelas 3, lagi-lagi siklus pindah rumah terjadi lagi dan aku resmi tinggal sendiri.
Ibuku termasuk orang yang cuek, beliau tidak bisa “menggombal” baik pada kami anaknya maupun pada ayahku. Tidak pernah dia bermanis-manis kata. Dan di keluargaku dialah sang polisi. Dia akan meniup periwit atas setiap pelanggaran yang kami lakukan. Atas semua hal tersebut, semasa SD sampai SMP, diary-ku penuh dengan pertanyaan pertanyaan seperti “sebenarnya ibu saying ga sama aku?”
JIka SD san SMP aku mempertanyakannya dengan sedih, semasa SMA aku mempertanyakannya dengan marah. Aku marah pada keadaan, padanya, pada semua. Dan khas anak SMA sekali, aku beralih menjauh dari keluarga dan mendekat pada teman-teman. Semakin sering aku menghabiskan waktu bersama teman, semakin sore aku pulang ke rumah, semakin nyaring bunyi periwit ibu. Saat itu kami resmi bermusuhan.
Akhir pekan saat keluargaku dating, aku selalu mencari alasan keluar rumah. Kalau tidak berhasil, yah berarti akhir pekan akan kuhabiskan dengan…dimarahi. Ah, labil sekali kala itu.
Tapi semua berbeda saat akhirnya aku kuliah dan resmi tinggal di kota orang. Ibu rajin menelpon, sekedar menanyakan apakah aku sudah makan atau berbagi cerita lucu adikku. Itu tidak pernah terjadi sebelumnya.
Kami mulai menganggap masing-masing sebagai manusia yang utuh, yang tentu memiliki keterbatasan, gaya, dan sifatnya sendiri. Kami berbaikan, suatu hal yang rajin ayahku jadikan bercandaan.
Ibu, tidak tahukan untuk siapa aku mati-matian belajar sampai hari ini? Untukmu, untuk ayah.
Setiap kali pembagian rapot, setiap kali perpisahan sekolah, aku hanya ingin melihatmu tersenyum, melihat kalian tersenyum. Aku ingin usahaku dihargai, sesuatu yang entah mengapa jarang kurasakan. Entah lagi-lagi kau yang terlalu cuek atau memang aku yang belum cukup pantas mendapatkan itu.
Ibu, tidak tahukah aku merindukanmu setiap malamnya? Iya bu, aku rindu.
Setiap perlakuan kecil darimu, baik itu membelaiku, membiarkanku tidur di pahamu atau saat malam ketika kau membiarkanku memelukmu, itu aku ingat dengan jelas setiap detailnya bu.
Ibu, tahukah kau rencana besarku saat ini? Aku ingin membahagiakanmu, membahagiakan ayah. Aku ingin segera lulus, berpengahasilan sehingga memiliki cukup tabungan untuk membawamu ke tempat-tempat yang ingin kau kunjungi, membelikanmu barang-barang yang kau suka, aku ingin membawamu ke tanah suci bu. Dan ku pastikan semuanya akan bersama ayah, karena aku yakin kau tidak akan mau sendirian.
Ibu…
Betapapun buruknya hubungan kita dulu, itu karena aku terlalu membutuhkanmu. Aku takut hanya aku yang menyayangimu, hanya aku yang membutuhkanmu. Bu, maaf aku tidak pernah bisa mengucapkan kata-kata indah padamu. Lebih mudah menulis berbaris-baris disini daripada satu kata langsung padamu. Tapi percayalah, sesemesta ini tidak ada yang mengalahkan rasa hormatku padamu, rasa terimakasihku padamu, rasa sayangku padamu bu.
" cha sayang mbu..."
# a song for mama by boys II men perfectly describe how i feel bout my mother..#